16.7.11

Boneka Ayah


Mana bonekaku, Ibu?
Boneka yang diberi ayah saat ulang tahunku yang kelima
Aku cuma mau yang itu
Boneka beruang coklat muda yang sudah lusuh sejak aku menerimanya
Biar, Ibu
Biarkan aku bermain dengannya
Memeluknya ketika tidur
Seperti yang telah aku lakukan empat tahun ini
Kenapa Ibu ganti bonekaku?
Aku tak perlu boneka beruang putih yang tingginya melebihi ujung kucirku
Bisa tak tidur aku karena aroma tokonya yang melekat pekat
Aroma toko yang orang-orang di dalamnya memandang aku dan ayah sinis saat berdiri di luar etalasenya
Tak mau aku
Kembalikan bonekaku, Ibu
Jangan tukar bonekaku yang lusuh dengan yang baru dan mahal
Seperti apa yang telah kau lakukan pada ayahku

Dengan penuh cinta dan harap, Anakmu

7.7.11

Naik Haji Berkat Jadi Agen Koran

13 tahun lalu, Ade Yanti yang baru saja menikah memilih agen koran sebagai bisnis yang akan ia geluti bersama suaminya. Alasannya sederhana, karena bisnis agen koran yang digeluti ayahnya telah berhasil menghidupinya hingga mendapat gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sumatera Utara. Kini, nasib baik juga datang kepada keluarga yang turun temurun menjadi agen koran ini. Ia dibiayai salah satu penerbit untuk pergi ke tanah suci.
Rasa kantuk masih menyergap saat Ade bangun dari tidurnya. Saat itu sekitar pukul dua dini hari. Bukan tak jarang ia mengeluhkan keadaan yang memaksanya harus bangun lebih awal dari orang kebanyakan. Tapi inilah pilihannya. Ia pun bergegas menuju lapaknya di samping gedung kantor Harian Analisa di Jalan Ahmad Yani, Medan.
Sesampai ia di sana, ia langsung mencatat apa saja koran yang sudah masuk beserta jumlahnya. Kebanyakan koran-koran ini diantar oleh agen yang dipercayakan oleh penerbit. Walaupun ada juga yang diambil sendiri oleh pihak Ade. Setelah dicatat, koran-koran ini lantas disusun oleh pekerjanya, agar lebih mudah saat loper dan pengecer datang mengambil koran.
Ade tak main-main dengan usahanya ini. Proses awalnya termasuk sulit bagi orang yang tidak berlimpah rupiah seperti Ade. “Modalnya besar,” ucap Ade menerawang. Ia tak ingat pasti berapa modal awalnya. Yang ia ingat hanya puluhan juta, hampir seratus juta rupiah. Selain itu, mencari orang yang mau berlangganan dan mencari loper juga memakan waktu yang lama.
13 tahun berkutat pada bidang ini, membuat Ade kenyang dengan asam garam dunia agen. Salah satunya adalah kepercayaan penerbit media kepada agen. “Penerbit ini, kalo udah besar, mereka yang buat sistem. Lupa kalo dulu pernah memohon agen buat bantu mereka,” tutur Ade. Banyak media yang sudah ternama membuat sistem bayar dimuka. Menurut Ade, ini sering kali merugikan agen karena eksemplar yang sudah dibeli agen tidak bisa dikembalikan kalau tidak laku.
Tiap harinya, rata-rata Ade mendapat keuntungan bersih sekitar 200-300 ribu rupiah. “Sehari memang bisa pegang puluhan juta. Tapi yang memang bersih ya cuma sedikit,” ujarnya. Penghasilan per hari ini pun sering kali tidak bisa dinikmati sepenuhnya. Ada saja loper yang biasanya perlu berhutang karena tidak ada modal. Keuntungan ini yang biasa digunakan untuk menutupi kebutuhan uang di sana-sini supaya usahanya bisa terus berputar.
Berharap untung besar dari pekerjaan ini, tentu sulit menurut Ade. Tetapi Ade yakin usaha ini cukup menjanjikan dan bisa menambah pemasukan di samping usaha yang dilakoni suaminya. Memang, saat ini bukan seperti saat ayah Ade menjadi agen. “Dulu, jadi agen aja, makmur hidup,” seru Ade. Ia menjelaskan waktu bapaknya masih bekerja, keuntungan sebagai agen itu berkisar antara 50-100 rupiah per eksemplar. Sekarang, dua puluh tahun setelahnya, keuntungan dari tiap eksemplar juga tetap segitu. “Sekarang semua mahal, kebutuhan meningkat. Uang seratus ribu juga gak ada arti dibanding dua puluh ribu waktu itu,” sesal Ade.
Begitu pun, Ade tetap bersyukur menjalani pekerjaan ini. Menurutnya, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang benar-benar memenuhi aturan agama. Tidak ada penggelembungan harga yang mungkin dilakukan oleh seorang agen koran. “Kalau kita jualan baju, bisa saja modal kita rendah tapi kita jual harganya terlalu tinggi. Kalau agen, memang sudah seperti itu keuntungannya,” ujarnya.
Ade pun mensyukuri rezeki yang datang padanya tahun ini. Salah satu koran lokal akan membiayainya ke tanah suci. “Bosnya Jurnal Medan, dulu Harian Global, yang janji,” ujarnya semringah. Kini, ia sudah masuk ke daftar tunggu dan akan berangkat pada 2015.

6.7.11

Satire

Seorang dungu untuk memahami
Bagaimana menafsirkan?
Saat tutur tak lagi dapat jadi pijakan
Laku pun tersembunyi dalam ambiguitas
Seperti hidup dalam simulakra
Yang menjebak setiap lalat yang terlalu lugu
Intuisi lumpuh
Dian terakhir malah padam
Ke mana sekarang?

Dengar
Lagi-lagi lagu biru itu
Ada yang memutar piringan hitam di kejauhan
Dengarlah
Begitu sendu
Melumat setiap sendi dan belulang

Hidup melanjutkan teka-teki pendahulu yang tak terjawab
Pendahulu yang mewarisi segala karsa yang kini bergejolak hebat
Hanya, dan tinggal mengekor
Dialektika tersumbat
Satu-satunya setapak telah tertutup belukar

Nyatakah?

Dira's Prologue

Dira mendengar.
Dira menguap, lalu menulis.
Dira mengantuk, karena ini semua menjemukan.
Menanti waktu habis.
Menunggu ia berhenti mengoceh.
Akhirnya Dira mendatanginya.
Mengatakan akan mengabaikannya.
Karena Dira lelah menagih janji,
di antara tuturnya yang tanpa puji.

010211

Warm in Gloom

Kali ini, siang pun memilih mendung.
Redup.
Berbaur dengan warna-warna solid kain pelapis tubuh.
Dira duduk di koridor gedung biru putih itu.
Menyapu pandangan hingga ke seluruh horizonnya sekilas.
Hijau tumbuhan selalu lebih nyala kala mendung.
Hijau melatari warna solid lainnya dengan sempurna.
Dira, ia selalu menyukai warna solid.
Terlebih ketika mendung.
Dira, ia pun selalu menyukai mendung.
Seperti bocah yang selalu menyukai aroma tubuh ibunya.
Dan dengan senang hati menghambur ke pelukannya.
Mendung menawarkan kenyamanan.
Sekalipun di antara menusuknya angin yang tak henti,
Dira selalu merasa hangat.

7/2 saat mendung

Love Lost by Temper Trap

Lagi gandrung temper trap nih..
Ini salah satu lagu mereka yang Vclip-nya lucu..

5.7.11

suara sunyi

Suara itu lagi
Memenuhi ruang udara
Menggetarkan relung siapa saja yang mendengar
Suara itu berseru
Lalu menggoda
Lantas menusuk
Suara itu nyata
Terdengar bahkan di dalam peti kedap sekali pun
Tapi mana muasalnya?
Tak ada sesuatu yang menguarkan bunyi sebening itu
Suara itu hanya bisa dinikmati
Tanpa dimiliki
Tanpa diketahui siapa pemiliknya

senja.4.maghrib.3.petang

Nanti, di kebun rumahku

Kalau aku punya rumah nanti, rumah itu haruslah warna-warni. Seperti taman bermain yang ada di sebelah kontrakan kami sekarang. Segala warna berpadu. Tiap warna memancarkan karakternya sendiri. Perpaduan warna-warna solid yang membuat gereja tua di sebelahnya makin redup.

Kalau aku punya rumah nanti, aku ingin rumah itu penuh dengan pohon. Pohon mangga, cemara, trembesi, rambutan, asam jawa, dan bunga-bungaan. Lengkap dengan rumput sebagai permadaninya. Aku mau rumahku punya taman hijau. Hijau yang akan melatari warna-warni cat yang aku tumpahkan pada ornamen yang ada di kebunku nanti.

Kalau aku punya rumah seperti itu, aku akan menghabiskan pagiku di kebun. Menghirup sejuknya bayu, menatap mentari pertama di hari itu, menyeruput susu sapi yang telah dipanaskan, membaca koran yang beritanya belum tentu beres, dan melihat anak-anak pergi ke sekolah.

Aku juga akan menghabiskan sore di sana. Menyaksikan setiap insan kembali ke tempat yang mereka sebut rumah, kembali pada orang-orang terdekat dalam hidup mereka. Aku akan membiarkan sinar matahari yang mulai sayau menyentuh kulitku sementara aku membaca novel atau kumpulan cerpen bergenre sastra Indonesia. Aku akan duduk di ayunan nyaman yang digantung di batang terkokoh trembesi kami. Sambil sesekali menyesap buah asam yang jatuh ke tanah.

Dan tentu saja, aku akan menghabiskan waktuku di kebun rumahku nanti pada saat mendung. Aku akan menghambur ke kebun. Melebur dengan mendung. Menghirup udara mendung rakus-rakus. Memenuhi paru-paru dengan kegagahan mendung. Lalu aku akan mengambil biolaku, dan memainkan sebuah konserto dengan lantang. Biar mendung tahu, ia punya kawan sekaligus lawan.

Suatu sore di taman berwarna-warni yang rimbun. Setelah naik cetak edisi pertama.

Puisi Berjudul Puisi

Aku baru saja akan mengirimu puisi
Puisi yang sudah lama kutulis
Puisi untukmu
Yang tengah lelap saat aku menulis kata-kata ini
Akan kuselipkan ia di balik bantalmu

Aku baru saja akan mengirimu puisi
Puisi yang sudah lama kutulis
Puisi untukmu
Aku mencari di mana aku menyimpannya
Aku hampir saja mencari di seluruh tempat
Ketika aku sadar seseorang telah merampas kotak tempat puisi itu

Dua Sisi Koin Kehidupan Idin

Sudah lama Idin menunggu hari ini, 17 Oktober. Idin campur aduk. Hari ini dia akan berangkat ke Bogor, untuk menghadiri wisuda anaknya. Naik pesawat pula.

Idin adalah seorang pekerja harian. Istilah halus dari buruh terikat, yang mengerjakan semua jenis pekerjaan yang dibutuhkan sesuai musim. 24 tahun sudah ia menggeluti pekerjaan yang sama, sejak ia lajang. Kulitnya hitam. Badannya kekar.Otot-ototnya menyembul saat ia melipat tangannya. Hanya perut yang mulai membuncit dan kerutan di dahinya yang menandakan ia sudah berusia hampir setengah abad.

Datang pada acara wisuda anak sulungnya, sama sekali tidak pernah dia khayalkan. Dia hanya berharap anaknya hidup lebih baik darinya.

Sekitar awal tahun 90an, saat Heri masih SD, ia menonton televisi dan berkata pada Idin,“Pak, aku nanti sekolah kayak gitu ya.” Heri menunjuk layar yang menyiarkan cuplikan mahasiswa yang naik pesawat untuk kuliah.

“Iya. Bapak usahakan.”

Idin gemetar mengucapkannya. Ia sadar akan kemampuan finansialnya. Tapi kini Heri membuatnya bangga. Ia lulus beasiswa D3 Institut Pertanian Bogor. Dibiayai penuh, dengan ikatan dinas selesai kuliah.

Kini ia memboyong istri dan anaknya yang satu lagi ke Pulau Jawa. Ia ambil cuti enam hari. Sekalian kumpul keluarga sebelum si sulung terbang ke Kalimantan, memenuhi kontrak yang ditandatangani sebelum ia kuliah.

Wisuda Heri tanggal 19. Sehari sebelumnya, tiba-tiba istri Idin mengeluh sakit pinggang. Dan esoknya sama sekali tak bisa bergerak. Ia pun alpa melihat Heri wisuda.

Penyakit Muryati, istri Idin, bukan penyakit remeh. Penyumbatan darah di pinggang. Nyeri, hingga tak bisa jalan. Dokter bilang Muryati harus diterapi. Kembali lagi dia memikirkan bagaimana ia harus membiayainya.

Dia sadar penuh, hidup seperti dua sisi koin. Dalam waktu bersamaan, ada lara dan bahagia.

Kini, ia di rumah sendirian. Putra sulung di Kalimantan dan putri bungsu menemani ibunya di Rumah Sakit Melda Medan. Dari awal ia berkeluarga dan menempati rumah yang berdinding cokelat putih itu, baru kali ini ia sendirian di rumah.

“Sepi.”

Setelah dipertemukan sutradara kehidupan dengan Idin di Padang Halaban

Jingga

Photo by Huda Perdana Sitepu (suarausu-online.com)

Kau kenal aku?
Mahoni berkarat yang dikelumuni sinar mentari senja menjingga
Tempat tinggal serangga merah berbintik hitam pekat

Kau tahu aku?
Yang tergila-gila dengan semburat jingga surya yang berbatasan dengan kelam malam
Sesuatu di perbatasan waktu, yang selalu membuatku terpaku

Kau mengerti aku?
Tak bisa berhenti bersenandung apa pun yang terjadi
Seperti saat itu, menunggu, bersenandung, terpaku

Jingga tak pernah mengecewakan, tapi akan
Kau paham?

Sekarang 04.40 – angka cantik yang mencabik