14.12.11

Seratus Empat Belas Hari Sejak....


Aku tak berbohong, kan?

Aku berjanji, aku akan menulis puisi

Tentang malam yang dirundung awan merah

Tentang kita yang duduk di ayunan, di sebuah rumah tua


Malam ini, seratus empat belas hari sejak kita duduk di sana

Aku membuka kembali apa yang telah kutulis

Lama sekali sejak kita mengulang pertemuan awal kita di rumah itu, di malam itu

Aku ingat kita yang menyanyikan lagu dengan lirih

Dan aku yang terdiam saat kau melantunkan lagu barumu

Aku ingat kita yang mengulang semua kenangan delapan tahun lalu

“... waktu kita curi soal ujian dari....”

“...berantem lagi pas kita jadi panitia pameran seni rupa akhir tahun...”

“...nangkap basah dia mojok sama Pak Ram waktu kita balik ke sekolah sorenya...”

“...pertama kali waktu kawat giginya Elis nyangkut di net voli...”

Satu per satu, semuanya

Tentang kita, adalah pengecualiannya

Lalu aku ingat akan angin yang berembus kuat

Dan kita yang sungkan merapat


Dan kini, apa aku harus menunggu selama itu lagi hingga kita bisa duduk bersama?

Hanya untuk merasakan kehadiran satu sama lain


5.12.11

Demokrasi dari Cerita Pendek


Judul                                   : Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya
Editor/Penyunting      : FX Rudy Gunawan
Penerbit                            : Demos
Tahun Terbit                   : 2010
Jumlah Halaman          : 186 halaman
Harga                                  : Rp 45.000

Grubug melangkah, tanpa memandang orang-orang yang membacakan dongeng tentang hukum, keadilan, demokrasi, LSM atau apa lagi. Grubug tidak peduli, apa yang layak dipercaya di negeri ini. Siapa yang bisa menjelaskan ke mana Bapak pergi? Siapa yang membuat ibunya mati? Siapa yang telah mengubah hak milik tanahnya jadi milik negara.

                Demokrasi. Sebuah konsep kenegaraan yang dicetuskan Aristoteles. Sekarang hampir seluruh negara di dunia menetapkan demokrasi sebagai konsep negara mereka. Indonesia, tanah air beta, juga memilih sistem ini. Buktinya? Lihat saja, kita mengadakan pemilihan umum untuk menentukan siapa pemimpin negeri ini, Presiden Republik Indonesia yang terhormat.
Namun demokrasi sebenarnya tak hanya mengenai pemilu, kawan. Demokrasi juga sejalan dengan stabilitas negara dan kesejahteraan rakyat. Nyatanya, pasca-orde baru, kebebasan malah makin merosot. Banyak terjadi kekerasan pada kelompok kepercayaan tertentu. Belum lagi diskriminasi pada etnis minoritas. Di bidang hak ekonomi sosial, banyak penggusuran, perampasan hak buruh hingga sulitnya kaum miskin bersekolah. Kelompok marginal tidak akan pernah bisa ikut menentukan keputusan publik.
Diskursus demokrasi yang berkembang di Indonesia masih sebatas pemilu dan konsep politik. Tak ada yang melihat bahwa demokrasi seharusnya hidup dan bernapas di kehidupan sehari-hari. Banyak kejadian sehari-hari yang mengeropos proses demokrasi di Indonesia. Seperti cerita tentang seorang anak perempuan bernama Grubug, yang orang tuanya dituduh jadi simpatisan Partai Komunis Indonesia. Ayahnya hilang, ibunya diperkosa hingga mati, dan lingkungannya terus menghukumnya dengan sanksi sosial hingga ia dewasa.
Suatu saat ia dituduh melakukan kejahatan yang tak pernah ia lakukan. Ia bahkan tak kuasa hanya untuk membela diri sendiri. Pejabat pengadilan lebih ‘akrab’ dengan perusahaan yang menuntut Grubug.
Dalam cerita lain yang bertajuk Menjadi Anjing, Randi, guru di pulau kecil dekat perbatasan Malaysia mengalami kesulitan finansial saat mengabdikan diri bertahun-tahun mengajar di sana. Negara mungkin tak tahu ada orang seperti Randi, yang peduli masa depan bangsa dibanding orang yang duduk di bangku pemerintahan sekarang.
Cerita-cerita serupa tentu banyak terjadi di Indonesia yang amat luas ini. Seperti dalam cerita pendek berjudul Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya, dikisahkan ada seorang rakyat yang suka bertanya kepada siapa saja. Pertanyaan-pertanyaannya sederhana. Apakah buruh tak boleh bermimpi ketika tidur? Apakah seorang pemimpin boleh bangun siang? Akibat pertanyaan-pertanyaan lugunya, ia pun dianggap berbahaya. Tak lama kemudian rakyat-buruh-tani-yang suka bertanya itu lenyap tanpa seorang pun yang tahu.
Cerita-cerita di buku ini banyak diadopsi dari kejadian nyata yang ada di keseharian kita, yang diliput media bahkan yang tak terekam di catatan sejarah sekalipun. Seperti bagaimana lemahnya posisi perempuan di rumah tangga hingga betapa tidak pentingnya suara orang buta dalam demokrasi di negara ini.
Lewat sembilan cerita pendek di buku ini, kita dibawa miris, haru, bahkan datar karena pelanggaran serupa awam terjadi di sekitar kita. AS Laksana, FX Rudy Gunawan, Irwan D Kustanto, Lan Fang, Linda Christanty, Martin Aleida, Miranda Harlan, Oka Rusmini dan Puthut EA menggambarkan demokrasi dengan gaya penulisan mereka masing-masing. Mulai dari yang menulis dengan deskripsi panjang lebar seperti Linda Christanty hingga penulisan sederhana dan simpel oleh Oka Rusmini. Pembaca tak akan bosan karena masing-masing punya karakter yang berbeda.
Kumpulan cerita pendek ini diterbitkan Demos, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, dan bekerja sama dengan vhrbook dan spasimedia. Saat ini, Demos disokong oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei). Membaca buku ini akan membawa kita lebih peka melihat isu-isu demokrasi yang ada di kehidupan sehari-hari. Pelanggaran hak dan pemangkasan kebebasan sebenarnya banyak terjadi di sekitar kita, hanya kita saja yang tidak benar-benar sadar. Untuk itu, mari mulai berdemokrasi dalam kehidupan kita masing-masing!

Hari Ini


Hari ini hari ini.
Hari ini adalah hari ini.
Hari ini, ya hari ini.
Hari ini? Hari ini!
Hari ini? Ya hari ini.
Hari ini kok hari ini?
Hari ini pasti hari ini.
Hari ini?
Hari ini...
Hari ini!