Aku
selalu menemukan hal-hal menarik ketika aku berada di perjalanan. Dari dulu,
aku memang selalu suka melamun. Eh, merenung, lebih tepatnya. Melamun
sepertinya adalah diksi yang negatif.
Apa
pun itu, yang ingin kusampaikan adalah, aku suka sekali merenung saat berada di
perjalanan. Entah itu di bus yang melaju dari ke kota kelahiranku ke kota
kelahiran orang tuaku di provinsi sebelah, atau di pesawat terbang yang melaju pada
ketinggian 12.000 meter di atas permukaan bumi, bahkan di dalam angkutan umum
yang pengap sekalipun.
Aku
ingat aku pernah membuat catatan di ponsel nokia E63 biruku, sebuah intisari
dari renungan saat aku berada di bus Damri dari bandara Soekarno Hatta ke
kawasan Tanah Abang. Kalau kau tidak percaya, kau bisa meminta buktinya padaku.
Aku masih menyimpannya. Aku bahkan mencari catatan itu dari draft di ponsel tuaku saat aku menulis
tulisan ini. Begini bunyi catatan itu:
Hidup itu kayak naik bus. Kita
sengaja datang lebih awal untuk pilih tempat duduk yang paling pewe (posisi wenak, istilah lain dari nyaman),
tapi kita enggak tahu siapa yang kemudian bakal duduk di bangku samping kita.
Kau
bingung apa maknanya? Tidak mengapa. Itu adalah catatan ngawur aku sendiri,
yang aku salin agar aku tidak lupa atas hal-hal yang aku alami.
Kala
itu, aku sengaja duduk di tempat yang paling nyaman, hingga akhirnya ada seseorang
berbadan besar yang duduk di sampingku. Ia duduk mendempet badanku hingga
akhirnya aku harus bergeser dan hanya menduduki dua pertiga kursiku. Itu masih
tak mengapa.
Kau
tahu apa yang lebih parah? Bau badannya sungguh tak sedap. Aku hanya bisa
berpasrah karena tak ada kursi lain yang tersisa.
Begitulah
kalau naik kendaraan umum. Kau pikir kau sudah mengantisipasi segala hal dengan
datang lebih awal, memilih bangku favoritmu, membawa permen mint yang sengaja kau beli di mini
market sebelum ke halte, serta menyiapkan headset
dan bantal leher. Kau mungkin sudah berekspektasi atas siapa yang akan
menemanimu di perjalanan itu.
Begitu
juga perjalanan hidup. Kau sudah mempersiapkan masa depan yang—kau pikir akan—nyaman,
hanya untuk mengetahui rencanamu mengalami perubahan tak terduga dan tak
terhindar di detik terakhir.
Bicara
soal antisipasi dan kenyataan perjalanan, aku masih punya kisah lain untuk kau
simak. Masih soal perjalanan yang tak berjalan mulus, tentunya. Memang yang
buruk-buruk lebih gampang meninggalkan bekas di memori. Tapi tak apalah, toh
aku bisa mengambil hikmah dari hal-hal yang tak diharapkan seperti ini.
Waktu
itu sedang libur sekolah. Ayah mengajak kami untuk liburan bersama keluarga
dari teman-teman dekat ayah. Aku ingat, waktu itu keluarga Om Bas berangkat
lebih dulu untuk menyiapkan vila yang akan kami gunakan.
Ketika
kami hendak berangkat, Om Bas menghubungi ayah. Dia bilang untuk tidak lewat
jalan utama. Macet total, katanya. Mobilnya sudah terjebak hampir satu jam di
posisi yang sama.
Berbekal
pesan itu, kami pun berbelok dan memilih jalur alternatif sebelum sampai ke
lokasi macet yang sudah diwanti-wanti. Jalur itu bukan jalan lintas utama, tapi
sedikit memutar karena melewati perkebunan dan pemukiman warga.
Setelah
lebih 1,5 jam berjalan tanpa hambatan, kami mulai masuk ke jalan yang rusak.
Jalan itu sudah diaspal, tapi berbolong-bolong besar dan dalam. Belum lagi
comberan sisa hujan sebelumnya yang membuat ayah harus lebih berhati-hati.
Meski demikian, kami masih bersyukur. Ini lebih baik daripada terjebak macet
yang tidak tahu pangkalnya di mana.
Tak
lama setelah itu, perjalanan kembali mendapat hambatan karena ada kecelakaan
bus. Hanya satu jalur yang dibuka dan dilalui secara bergantian oleh kendaraan
di dua jalur. Antreannya cukup panjang. Tapi ayah masih membesarkan hati kami,
ini masih lebih baik ketimbang macet tanpa tahu ujungnya di mana.
Sayang
sekali rasa syukur itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan kami melihat deretan
mobil yang kembali mengular. Kami pun bertanya-tanya, apa lagi ini?
Ternyata
ada pohon tumbang karena hujan deras tadi malam. Kali ini ayah terdiam, tak
bisa lagi menghibur hati anak-anaknya. Gantian ibu melipur lara dengan membuka
bungkus keripik kentang bermicin untuk kami. Sepertinya perjalanan ini akan
terasa amat lambat.
Pada
hari itu aku menyadari, bahwa dengan pilihan yang berbeda, belum tentu semuanya
jadi lebih baik. Kau hanya bisa mengantisipasi dari hal yang kau tahu, dari
informasi, pengalaman atau pembelajaran yang kau dapat. Tapi hidup tak
sesederhana itu.
Ada
terlalu banyak variabel di dunia ini. Variabel-variabel ini membuat yang
namanya ‘kemungkinan’ jadi tidak terbatas. Kau pikir pilihanmu adalah jalan
yang terbaik, padahal bisa saja yang terjadi adalah kebalikannya.
Kau juga
tak bisa selalu bersandar pada pengalaman orang di hidup ini. Variabel yang kau
dan dia punya berbeda. Bisa saja variabel ‘waktu’ saat kalian menempuh
perjalanan membuat sebuah perbedaan besar. Bisa saja ada bantuan dari tangan
yang tak kau sangka saat kau menempuh jalan yang kata orang ‘jangan dilalui’
itu.
Begitu
pula sebaliknya. Perjalanan yang mulus bagi orang lain, belum tentu berakhir
sama bagimu. Terlalu banyak variabel, terlalu banyak kemungkinan. Kau harus
berlapang dada untuk menerima apa pun jalan yang membentang di hadapanmu,
melalui jalan itu dengan sebaik mungkin yang kau bisa.
Kau
tak perlu putus asa ketika tak mencapai apa yang kau targetkan. Tak perlu bersedih
ketika tak mendapat apa yang kau harapkan. Yakinlah, dengan pilihan yang
berbeda, belum tentu semuanya jadi lebih baik.
Ah, begitulah
perjalanan. Kau bisa merenungkannya dan mencari hal-hal menarik dari apa yang
kau alami.
Kau
bisa renungkan, betapa perjalanan yang kau alami sehari-hari serupa dengan perjalanan
hidup. Kau hanya bisa merencanakan. Sebisa mungkin kau mengantisipasi segala
kemungkinan buruk dan berupaya menghindarinya. Pada akhirnya tetap saja ada
kejutan-kejutan yang bahkan tak pernah terpikir olehmu bisa terjadi.
Meski
begitu, itu jualah yang disebut perjalanan hidup. Meski kau mengutuki atau
mensyukuri kisah perjalananmu yang satu, perjalanan itu akan mencapai penghujungnya.
Pada akhirnya kau akan turun dari kendaraan beserta kisah yang kau tumpangi, mengakhiri
perjalanan itu. Lalu kau pun akan kembali memulai sebuah perjalanan baru, yang
akan kau petik kembali kisah dan hikmahnya.