1.9.18

sementara


Kalau ada satu hal yang paling menyita energi dan emosi dari proses pindahan, bagiku itu pasti: BERKEMAS.

Ini bukan berkemas sekadar untuk berpelesir seminggu. Bukan pula berkemas untuk indekos di kota lain untuk beberapa tahun. Kau berkemas sebagaimana kau memindahkan seluruh kehidupanmu ke tempat yang baru.

Jika kau seorang yang sentimentil—yang menyimpan baik-baik perintilan barang-barang penuh kenangan yang menurut orang lain sudah layak dibuang—kegiatan itu akan sangat menyita banyak waktu. Kau akan menemukan foto alay dengan teman-teman segeng waktu SMP, karcis masuk taman ria saat kau ulang tahun ketujuh, tanda pengenal dari acara kepanitiaan ini-itu, sampai surat cinta pertama yang tak jadi kau berikan kepada gadis incaranmu.

Saat pertama kali mengalami pindahan seperti itu, aku membuang lebih dari dua boks besar berisi perintilan yang kutumpuk dari aku kecil. Setelah melalui pergulatan batin yang amat panjang, tentunya.

Kira-kira begini prosesnya: ambil satu barang. Dipandangi, sembari mengingat kembali memori apa yang melekat pada benda itu. Apakah memori itu berharga? Apa tanpa benda itu aku bisa kembali mengingat memori itu? Apa memori itu akan hilang jika barang itu dienyahkan?

Aku punya alasan sendiri kenapa aku jadi seorang ‘Penumpuk’ seperti itu. Kau mungkin tak tahu, betapa seorang pelupa sepertiku membutuhkan hal tertentu untuk menjadi pengingat. Baik barang, aroma, lagu atau musik, bahkan nuansa. Kalian yang bukan pelupa tentunya tak akan paham.

***

Proses melelahkan itu ternyata tak hanya sekali aku alami. Bukan hidup namanya kalau semua berjalan sesuai dengan imaji kita. Aku pindah, lagi dan lagi.

Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Dan ini yang kelima.

Namun ada satu hal yang aku sadari dari proses berkemasku yang kelima ini. Ada yang berubah. Entah umur yang mendewasakan, atau pengalaman yang mengubah pemikiran.

Sesuatu menyelusup saat aku berkemas, “Ngapainlah lagi disimpan-simpan. Kayak bakalan dibawa mati aja!”

Aku terkesiap. Bukan karena aku tergoda untuk melewatkan ritualku. Melainkan karena ada sebuah pikiran yang menghentak.

Pikiran tentang betapa kita, sebagai manusia, amat terikat dengan dunia ini. Begitu terikatnya kita dengan benda-benda, dengan orang-orang, dengan kenangan, dengan memori, dengan apa-apa yang kita alami dalam hidup yang kita pikir berharga.

Butuh lima kali pindahan. Hingga akhirnya aku sadar semua yang ada, semua yang melekat, pada akhirnya akan lenyap.

Barang-barang perlahan usang. Orang-orang perlahan berubah, bahkan pergi meninggalkan. Memori juga memudar hingga akhirnya hilang ketika kita dimakan usia dan ajal.

Anehnya ialah, ‘merelakan’ jadi lebih mudah ketika kita sadar semuanya hanyalah sementara. Segala hal yang kita pikir adalah kepunyaan kita, tak pernah benar-benar jadi milik kita.

Apa pun itu, semuanya hanya ada di sisi kita untuk sementara.

***

Tak cuma benda dan kenangan. Sama halnya untuk kondisi dan perasaan. Ketika kita berada di puncak, kita terbuai. Seolah kenyamanan hidup itu adalah suatu hal yang  mutlak karena kita telah bekerja keras. Menjadi sombong dan serakah pun kadang kita tak sadar.

Sementara saat kita berada di titik terendah, kita serta-merta lupa akan hal-hal baik yang pernah kita lalui. Kita lalai mencari hikmah. Yang kita lakukan hanyalah terbalut dalam kalut, dan berlarut-larut.
Kita tahu kalau dunia ini sementara, tapi tetap saja kita lalai dalam praktiknya. Tetap saja kita terikat pada dunia dan isinya.

Padahal, ketika kita sadar atas kesementaraan ini, kita bisa menjalani hidup dengan lebih tenang. Tak lagi ambisius hingga jadi serakah. Tak akan lagi menumpuk, juga tak lagi menunda. Kita akan berupaya, dan kemudian berpasrah.

Tak akan lagi berlebihan atas segala sesuatu. Girang hingga takabur, sedih hingga ingin bunuh diri, atau marah hingga ingin bunuh orang. Sewajarnya saja. Toh kesementaraan ini juga akan usai.

***

Aku kini bukan lagi si Penumpuk seperti lima tahun lalu. Aku keluarkan semua barang dari kardus-kardusku. Barang-barang yang tadinya kusimpan untuk momen yang tepat suatu hari nanti, akhirnya kugunakan semuanya saat ini. Siapa yang bisa menjamin barang itu masih bagus ketika momen itu datang? Aku yang punya barang saja tidak bisa.

Dan satu lagi, siapa juga yang bisa menjamin hari itu akan datang? Bisa saja masaku sudah habis sementara kalian membaca tulisan ini.

No comments:

Post a Comment