Kalau
ada satu hal yang paling menyita energi dan emosi dari proses pindahan, bagiku
itu pasti: BERKEMAS.
Ini
bukan berkemas sekadar untuk berpelesir seminggu. Bukan pula berkemas untuk indekos
di kota lain untuk beberapa tahun. Kau berkemas sebagaimana kau memindahkan
seluruh kehidupanmu ke tempat yang baru.
Jika
kau seorang yang sentimentil—yang menyimpan baik-baik perintilan barang-barang penuh kenangan yang menurut orang lain
sudah layak dibuang—kegiatan itu akan sangat menyita banyak waktu. Kau akan
menemukan foto alay dengan teman-teman
segeng waktu SMP, karcis masuk taman ria saat kau ulang tahun ketujuh, tanda
pengenal dari acara kepanitiaan ini-itu, sampai surat cinta pertama yang tak jadi
kau berikan kepada gadis incaranmu.
Saat
pertama kali mengalami pindahan seperti itu, aku membuang lebih dari dua boks
besar berisi perintilan yang kutumpuk dari aku kecil. Setelah melalui
pergulatan batin yang amat panjang, tentunya.
Kira-kira
begini prosesnya: ambil satu barang. Dipandangi, sembari mengingat kembali
memori apa yang melekat pada benda itu. Apakah memori itu berharga? Apa tanpa
benda itu aku bisa kembali mengingat memori itu? Apa memori itu akan hilang
jika barang itu dienyahkan?
Aku
punya alasan sendiri kenapa aku jadi seorang ‘Penumpuk’ seperti itu. Kau
mungkin tak tahu, betapa seorang pelupa sepertiku membutuhkan hal tertentu
untuk menjadi pengingat. Baik barang, aroma, lagu atau musik, bahkan nuansa.
Kalian yang bukan pelupa tentunya tak akan paham.
***
Proses
melelahkan itu ternyata tak hanya sekali aku alami. Bukan hidup namanya kalau
semua berjalan sesuai dengan imaji kita. Aku pindah, lagi dan lagi.
Satu
kali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Dan ini yang kelima.
Namun
ada satu hal yang aku sadari dari proses berkemasku yang kelima ini. Ada yang
berubah. Entah umur yang mendewasakan, atau pengalaman yang mengubah pemikiran.
Sesuatu
menyelusup saat aku berkemas, “Ngapainlah
lagi disimpan-simpan. Kayak bakalan dibawa mati aja!”
Aku terkesiap.
Bukan karena aku tergoda untuk melewatkan ritualku. Melainkan karena ada sebuah
pikiran yang menghentak.
Pikiran tentang betapa kita, sebagai manusia, amat terikat dengan dunia ini. Begitu
terikatnya kita dengan benda-benda, dengan orang-orang, dengan kenangan, dengan
memori, dengan apa-apa yang kita alami dalam hidup yang kita pikir berharga.
Butuh
lima kali pindahan. Hingga akhirnya aku sadar semua yang ada, semua yang melekat,
pada akhirnya akan lenyap.
Barang-barang
perlahan usang. Orang-orang perlahan berubah, bahkan pergi meninggalkan. Memori
juga memudar hingga akhirnya hilang ketika kita dimakan usia dan ajal.
Anehnya
ialah, ‘merelakan’ jadi lebih mudah ketika kita sadar semuanya hanyalah sementara.
Segala hal yang kita pikir adalah kepunyaan kita, tak pernah benar-benar jadi
milik kita.
Apa
pun itu, semuanya hanya ada di sisi kita untuk sementara.
***
Tak
cuma benda dan kenangan. Sama halnya untuk kondisi dan perasaan. Ketika kita
berada di puncak, kita terbuai. Seolah kenyamanan hidup itu adalah suatu hal
yang mutlak karena kita telah bekerja
keras. Menjadi sombong dan serakah pun kadang kita tak sadar.
Sementara
saat kita berada di titik terendah, kita serta-merta lupa akan hal-hal baik
yang pernah kita lalui. Kita lalai mencari hikmah. Yang kita lakukan hanyalah
terbalut dalam kalut, dan berlarut-larut.
Kita
tahu kalau dunia ini sementara, tapi tetap saja kita lalai dalam praktiknya.
Tetap saja kita terikat pada dunia dan isinya.
Padahal,
ketika kita sadar atas kesementaraan ini, kita bisa menjalani hidup dengan
lebih tenang. Tak lagi ambisius hingga jadi serakah. Tak akan lagi menumpuk,
juga tak lagi menunda. Kita akan berupaya, dan kemudian berpasrah.
Tak
akan lagi berlebihan atas segala sesuatu. Girang hingga takabur, sedih hingga ingin
bunuh diri, atau marah hingga ingin bunuh orang. Sewajarnya saja. Toh
kesementaraan ini juga akan usai.
***
Aku
kini bukan lagi si Penumpuk seperti lima tahun lalu. Aku keluarkan semua barang
dari kardus-kardusku. Barang-barang yang tadinya kusimpan untuk momen yang
tepat suatu hari nanti, akhirnya kugunakan semuanya saat ini. Siapa yang bisa menjamin
barang itu masih bagus ketika momen itu datang? Aku yang punya barang saja
tidak bisa.
Dan
satu lagi, siapa juga yang bisa menjamin hari itu akan datang? Bisa saja masaku
sudah habis sementara kalian membaca tulisan ini.
No comments:
Post a Comment