Sudah lama Idin menunggu hari ini, 17 Oktober. Idin campur aduk. Hari ini dia akan berangkat ke Bogor, untuk menghadiri wisuda anaknya. Naik pesawat pula.

Idin adalah seorang pekerja harian. Istilah halus dari buruh terikat, yang mengerjakan semua jenis pekerjaan yang dibutuhkan sesuai musim. 24 tahun sudah ia menggeluti pekerjaan yang sama, sejak ia lajang. Kulitnya hitam. Badannya kekar.Otot-ototnya menyembul saat ia melipat tangannya. Hanya perut yang mulai membuncit dan kerutan di dahinya yang menandakan ia sudah berusia hampir setengah abad.

Datang pada acara wisuda anak sulungnya, sama sekali tidak pernah dia khayalkan. Dia hanya berharap anaknya hidup lebih baik darinya.

Sekitar awal tahun 90an, saat Heri masih SD, ia menonton televisi dan berkata pada Idin,“Pak, aku nanti sekolah kayak gitu ya.” Heri menunjuk layar yang menyiarkan cuplikan mahasiswa yang naik pesawat untuk kuliah.

“Iya. Bapak usahakan.”

Idin gemetar mengucapkannya. Ia sadar akan kemampuan finansialnya. Tapi kini Heri membuatnya bangga. Ia lulus beasiswa D3 Institut Pertanian Bogor. Dibiayai penuh, dengan ikatan dinas selesai kuliah.

Kini ia memboyong istri dan anaknya yang satu lagi ke Pulau Jawa. Ia ambil cuti enam hari. Sekalian kumpul keluarga sebelum si sulung terbang ke Kalimantan, memenuhi kontrak yang ditandatangani sebelum ia kuliah.

Wisuda Heri tanggal 19. Sehari sebelumnya, tiba-tiba istri Idin mengeluh sakit pinggang. Dan esoknya sama sekali tak bisa bergerak. Ia pun alpa melihat Heri wisuda.

Penyakit Muryati, istri Idin, bukan penyakit remeh. Penyumbatan darah di pinggang. Nyeri, hingga tak bisa jalan. Dokter bilang Muryati harus diterapi. Kembali lagi dia memikirkan bagaimana ia harus membiayainya.

Dia sadar penuh, hidup seperti dua sisi koin. Dalam waktu bersamaan, ada lara dan bahagia.

Kini, ia di rumah sendirian. Putra sulung di Kalimantan dan putri bungsu menemani ibunya di Rumah Sakit Melda Medan. Dari awal ia berkeluarga dan menempati rumah yang berdinding cokelat putih itu, baru kali ini ia sendirian di rumah.

“Sepi.”

Setelah dipertemukan sutradara kehidupan dengan Idin di Padang Halaban